Monday, September 1, 2014

Kehidupan baru di kampung orang

Memang tak mudah memulai kehidupan baru di kampung orang, susah susah gampang. Disini kita harus memulai semuanya dari nol. Apalagi di tempat yang memang beda, benar benar beda. Budaya di Indonesia memang beraneka ragam, karena kita bineka tunggal ika. Sebagai manusia yang berbudi dan berilmu, kita harus tetap menghormati segala budaya meskipun itu berbeda dengan keyakinan kita. 
Perlahan mindset kita berubah, kita semakin berfikir rasional. iya, persis seperti apa yang aku dapatkan di studentday universitas yang disampaikan oleh seniorku. Jujur kuakui, aku memang telah berubah, dulu aku memang seseorang yang idealis. Dulu aku berpendirian teguh untuk tidak berboncengan lawan jenis, karena bapak melarangnya. Tapi sekarang berboncengan menjadi hal yang tak asing bagiku. Bukan karena sekarang aku jauh dari orang tua, bukan itu masalahnya. Aku berfikir kalau aku harus punya banyak teman, teman untuk berbicara, aku ingin menjadi orang yang gampang bergaul, aku juga ingin mengambil 'simple'nya aja. Entah langkahku salah apa tidak, yang jelas aku sekarang benar-benar beda. Aku telah menyampaikan semuanya ke ibuk. Beliau tak berkomentar, hanya saja beliau menyuruhku untuk selalu berhati-hati. Tenanglah ibu, aku tak akan berbuat macam-macam. Karena anak bungsumu ini masih merangkul Al-Quran sekuat-kuatnya. Insyaallah, Allah pasti melindungi. 

Keadaan tak hanya merubah itu, keadaan juga membuatku lebih menerima. Menerima semua keadaan yang ada. Tempepun dapat digunakan untuk makan, padahal dulu aku makan satu potong ayam, telur dadar dan capcay penuh gizi, hati ayam (tanpa nasi). Kini aku sudah terbiasa makan seadanya, nasi + abon, nasi + sayur, nasi + telur, nasi + peyek. Pilihan itu sudah lebih dari cukup. Bukan karena aku tak punya banyak uang, bukan karena kiriman dari ibuk kurang, bukan. Aku hanya ingin hidup hemat, sebisaku. Tabunganku juga masih utuh di ATM, aku lebih memprioritaskan kenyamananku dalam bentuk lain, misalnya beli printer, rak, baju-baju, dan obat-obatan. Meskipun aku menghemat, aku anti makan mie instan. Alhamdulillah dulu aku sering bantu ibuk masak, jadinya aku bisalah melangkah perlahan untuk sekedar masak sayur sup. 
Gampang gampang susah memang hidup seperti ini, tapi aku yakin kulalui hari hariku ini dengan penuh semangat. Semangat berjuang ke jalan yang lebih baik, mendekati lilin lilin kecil untuk menuju petromak.
Inilah diriku dengan lika liku hidup dan kesuksesan yang menanti, aku ulang sekali lagi. Kesuksesan yang menantiku. Bukan aku yang menantinya.

No comments:

Post a Comment

Monday, September 1, 2014

Kehidupan baru di kampung orang

Memang tak mudah memulai kehidupan baru di kampung orang, susah susah gampang. Disini kita harus memulai semuanya dari nol. Apalagi di tempat yang memang beda, benar benar beda. Budaya di Indonesia memang beraneka ragam, karena kita bineka tunggal ika. Sebagai manusia yang berbudi dan berilmu, kita harus tetap menghormati segala budaya meskipun itu berbeda dengan keyakinan kita. 
Perlahan mindset kita berubah, kita semakin berfikir rasional. iya, persis seperti apa yang aku dapatkan di studentday universitas yang disampaikan oleh seniorku. Jujur kuakui, aku memang telah berubah, dulu aku memang seseorang yang idealis. Dulu aku berpendirian teguh untuk tidak berboncengan lawan jenis, karena bapak melarangnya. Tapi sekarang berboncengan menjadi hal yang tak asing bagiku. Bukan karena sekarang aku jauh dari orang tua, bukan itu masalahnya. Aku berfikir kalau aku harus punya banyak teman, teman untuk berbicara, aku ingin menjadi orang yang gampang bergaul, aku juga ingin mengambil 'simple'nya aja. Entah langkahku salah apa tidak, yang jelas aku sekarang benar-benar beda. Aku telah menyampaikan semuanya ke ibuk. Beliau tak berkomentar, hanya saja beliau menyuruhku untuk selalu berhati-hati. Tenanglah ibu, aku tak akan berbuat macam-macam. Karena anak bungsumu ini masih merangkul Al-Quran sekuat-kuatnya. Insyaallah, Allah pasti melindungi. 

Keadaan tak hanya merubah itu, keadaan juga membuatku lebih menerima. Menerima semua keadaan yang ada. Tempepun dapat digunakan untuk makan, padahal dulu aku makan satu potong ayam, telur dadar dan capcay penuh gizi, hati ayam (tanpa nasi). Kini aku sudah terbiasa makan seadanya, nasi + abon, nasi + sayur, nasi + telur, nasi + peyek. Pilihan itu sudah lebih dari cukup. Bukan karena aku tak punya banyak uang, bukan karena kiriman dari ibuk kurang, bukan. Aku hanya ingin hidup hemat, sebisaku. Tabunganku juga masih utuh di ATM, aku lebih memprioritaskan kenyamananku dalam bentuk lain, misalnya beli printer, rak, baju-baju, dan obat-obatan. Meskipun aku menghemat, aku anti makan mie instan. Alhamdulillah dulu aku sering bantu ibuk masak, jadinya aku bisalah melangkah perlahan untuk sekedar masak sayur sup. 
Gampang gampang susah memang hidup seperti ini, tapi aku yakin kulalui hari hariku ini dengan penuh semangat. Semangat berjuang ke jalan yang lebih baik, mendekati lilin lilin kecil untuk menuju petromak.
Inilah diriku dengan lika liku hidup dan kesuksesan yang menanti, aku ulang sekali lagi. Kesuksesan yang menantiku. Bukan aku yang menantinya.

No comments:

Post a Comment